Dr. Richard Jordan Gatling

Dulu, pada tahun 1862, Dr. Richard Jordan Gatling dari US mempatenkan sebuah MG yang memilikik beberapa laras, dan dioperasikan secara manual yang merupakan salah satu desain yang paling berhasil. Seiring berjalannya waktu, senjata ini diperbaharui, senjata ini memiliki beberapa versi dan dipakai di berbagai negara sebagai senjata pendukung infantry atau sebagai artileri ringan. Biasanya gatling gun menggunakan amunisi rifle biasa, tetapi pada abad ke-19 gatling guns biasanya memilik 6-10 laras. Beberapa gatling yang dipakai angkatan laut memiliki amunisi sampai berkaliber 1 inci(25mm), dan beberapa derivative seperti buatan Hotchkiss. Ketika tuas diputar, kumpulan dari laras itu pun ikut berputar. Setiap laras memiliki ‘bolt’nya tersendiri, yang menyelesaikan reload secara penuh setiap satu putaran dari kumpulan laras tersebut. Hal ini menyebabkam rate of fire yang tinggi mencapa 200+ peluru per menit. Ini merupakan pencapaian yang luar biasa di era single-shot bahkan rifle yang menggunakan magazine. Walaupun MG ‘sejati’ yang pertama muncul tahun 1890, beberapa gatling guns digunakan sampai WW I, khususnya angkatan laut.



Karen MG yang dioperasikan secara otomatis, Gatling gun mulai dilupakan sampai pada akhir tahun 40-an. Pada waktu itu kecepatan pesawat menjadi sangat cepat, bahkan MG konvensional tercepat menjadi terlalu lambat untuk mencapai hit yang diinginkan pada target. Hal ini memunculkan proyek yang terkenal yaitu “Project Vulcan”, yang dikembangkan dengan tujuan membuat senjata yang super cepat untuk angkatan udara US. Proyek ini ditangani oleh General Electric Co. Tes pertama dilakukan dengan gatling gun abad ke 19, yang dipasangkan dengan mesin listrik daripada tuas yang dioperasikan dengan manual. Hal ini menyebabkan rate of fire yang sekitar 4.000 peluru per menit, yang sangat mengesankan (perlu diingatkan bahwa tes seperti ini pertama kali dilakukan pada tahun 1890an, tetapi tidak digunakan, karena pada jaman itu tidak diperlukan senjata yang mencapa 3.000 peluru per menit). Perkembangan lebih jauh menghasilkan senjata eksperimental yang dijalankan dengan listrik berkaliber .60 caliber MG dengan 6 laras, dan pada tahun 1956, senjata T171 yang memiliki 6 laras dan memiliki perluru berukuran 20mm diadopsi secara resmi sebagai M61 aircraft gun. Senjata ini bias menembakkan 4.000-6.000 peluru per menit. Pencapaian ini mungkin karena memiliki banyak laras dan fire rate tiap laras sekitar 1000 peluru per menit atau kurang membuat mereka menjadi tidak overheat. M61 menjadi aircraft gun utama untuk USAF dan juga digunakan di M161 dan M163 Vulcan anti-aircraft darat. Angkatan laut juga kembali ke gatling dengan Vulcan-Phalanx CIWS(Close-In Weapon System).





Ketika US memasuki perang In-China pada tahun 60-an, mereka segera mengetahui bahwa mereka harus mempersenjatai helikopternya untuk menambah firepower melawan musuh. Jadinya desainer General Electric menurunkan skala senjata M61 menjadi 7.62x51mm NATO. Hasilnya dikenal sebagai M134 Minigun, yang bias menembakkan sampai 4.000 peluru per menit dan dipakaikan ke berbagai helicopter. Senjata ini dipakaikan di turret depan helicopter serang AH-1G “Cobra”, di bagian pintu, pylon, dan pod mounts di helicopter transport UH-1 “Huey” dan pada pesawat dan helicopter lainnya, termasuk pesawat “Gunship” seperti A/C-47 dan A/C-119.



Biasanya AH-1G “Cobra” membawa 1 atau 2 minigun di turret depannya dengan 2.000 atau 4.000 amunisi, UH-1 bisa membawa 1 atau 2(atau lebih) Minigun yang dipempatkan di berbagai tempat dengan 12.000 peluru ada untuk “langsung dikirimkan untuk musuh”.

Dengan diperkenalkanya amunisi 5.56 ke dalam dunia militer, Amerika berusaha untuk mengecilkan lagi skalanya sehingga menghasilkan senjata yang dikenal dengan nama XM-214 Microgun. Monster kecil ini memiliki 6 laras 5.56, dikendalikan secara elektrik dan bisa menembakkan peluru mencapai 10.000 peluru per menit. Tetapi peluru 5.56mm terlalu lemah untuk dijadikan alat anti-aircraft. Untuk infantry Microgun hampir tidak mempunyai kegunaan, karena terlalu berat, terlalu rumit, dan terlalu tinggi rate of fire dan recoilnya ( kekuatan recoilnya mencapai 110kg ketika rate of fire tertinggi. Pasukan infantry tidak membutuhkan senjata dengan rate of fire setinggi itu untuk mengatasi infantri musuh, dan untuk kegunaan anti-aircraft (di mana Rate of Fire setinggi itu masuk akal), amunisi 5.56 dan 7.62 mm terlalu lemah

Selain itu juga US mengembangkan beberapa Gatling yang berkaliber .50BMG, 20mm, 25mm, dan bahkan 30mm (seperti GAU-8/A “monster gun” yang terkenal, yang dipasang di pesawat serangA10 Warthog). Harus dicatat bahwa US bukan hanya satu-satunya yang mengeksploitasi ide Gatling gun. USSR(sekarang Russia) juga membuat beberapa untuk helikopter dan anti-aircraft. Untuk helikopter mereka membuat MG dengan 4 laras 7.62mm dan 12.7mm, dan untuk pesawat Gatling dengan 6 laras 23mm dan 30mm. Beberapa gatling 6 laras 30mm Soviet dibuat untuk anti-aircraft di kapal dan terkadang juga dilengkapi dengan misil anti-aircraft jarak dekat.




GAU-8/A


GSh-6-30



Modern Gatling guns - pros and cons

Keuntungan dari gatling gun yang ditenagai secara eksternal adalah rate of fire yang sangat tinggi, bisa mencapai 4.000-6.000 peluru per menit. Rate of fire seetinggi ini sangat diperlukan untuk mengatasi target yang berkecepatan tinggi. Biasanya targetnya adalah pesawat atau terget darat ketika ditembakkan dari udara. Kekurangannya adalah sistem multi laras yang relatif kompleks, berat, dan membutuhkan tenaga eksternal( listrik, pneumatic, hidrolik). Ada juga Gatling gun yang self-powered (gas-operated), tetapi masih berat dan memakan tempat yang banyak daripada senjata dengan satu laras yang konvensional. Selain itu juga membutuhkan waktu untuk mencapai kecepatan (rate of fire) maksimal setelah pelatuk ditekan. Contohnya pada Vulcan M61, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kecepatan maksimum adalah sekitar 0.4 detik.

Hollywood Miniguns: Predator vs. common sense



Pada tahun 1987 film “Predator” (dibintangi A. Schwarznegger) masuk ke layar lebar. 1 dari scene yang mengesankan adalah dimana US Commandos, yang dipimpin “Dutch” (Schwarznegger), berusaha untuk melawan balik alien Predator. Seorang dari pasukan komando membawa sebuah senjata yang khas, sebuah Minigun dengan 6 laras yang diisi amunisi yang disimpan pada sebuah tas. Ini membuat kesan bahwa minigun bisa dibuat untuk mendukung infantry. Harus dicatat bahwa di film ini menggunakan minigun spesial yang digunakan untuk menembakkan peluru kosong. Listrik mesinnya ditenagai lewat kabel yang disembunyikan di celana aktor, dan aktornya harus membaw bulletproof vest dan topeng pelindung untuk menghindari luka dari selongsong yang keluar dengan cepat secara ganas. Kalau senjata ini menggunakan amunisi yang sebenarnya, pasti aktornya bakalan berakhir terbaring di tanah karena recoilnya yang ganas. Tas amunisinya juga seharusnya hanya bisa menembakkan selama beberapa detik. Mari kita hitung: 2.000 peluru amunisi 5.56mm berat amunisinya akan berkisar 25kg, 2.000 peluru 7.62mm akan berbobot 2 kali lipat dari peluru 5.56mm, membuat berat seperti ini hampir tidak mungkin dibawa tidak menggunakan kendaraan. Selain itu amunisi sebanyak ini hanya bisa menembakkan sekitar selama 20 detik. Kemudian dia juga harus membawa sebuah baterai yang sangat kuat sekitar 4KWt (4+ horse-power), dan besarnya senjata itu sendiri, dan kau pun bakal melihat bahwa orang terkuat di dunia pun tidak akan bisa membawa beban seberat ini dan juga menembakkan dengan tepat ke target karena recoilnya yang ganas